Untuk FILE lengkap Berbentuk .DOC silahkan download DISINI
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Negara yaitu suatu
tempat yang di dalamnya di diami oleh banyak orang yang mempunyai tujuan hidup
yang bermacam-macam dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain.
Suatu tempat dapat disebut dengan Negara jika mempunyai 3 unsur terpenting yang
harus ada didalamnya yaitu :
1. Wilayah
2. Pemerintah
3. Rakyat
Ketiga unsur tersebut harus ada dalam suatu Negara. Jika
salah satu dari unsur tersebut tidak ada
maka tempat tersebut tidak dapat dinamakan Negara. Ketiga unsur tersebut saling
melengkapi dalam suatu Negara. Unsur yang lainnya yang juga harus dimiliki oleh
suatu Negara adalah pengakuan dari Negara lain. Pengakuan dari Negara lain
harus dimiliki oleh suatu Negara supaya keberadaan Negara tersebut diakui oleh
Negara-negara lain.
Setelah suatu Negara terbentuk maka
Negara tersebut berhak membentuk undang-undang atau konstitusi.Konstitusi di
Indonesia sudah ada sejak zaman dahulu bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia,
konstitusi telah ada yang berfungsi mengatur kehidupan bermasyarakat yang
disebut dengan adat istiadat yang ada karena kesepakatan dari suatu masyarakat
yang terlahir dan dipakai sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat.Adat
istiadat mempunyai suatu hukum yang dinamakan hukum adat. Pada jaman dahulu
walaupun belum ada undang-undangseperti halnya sekarang, tetapi kehidupan
masyarakat sudah diatur dengan adat istiadat dan yang melanggar adat istiadat
akan dikenakan suatu hukum yang telah masyarakat setempat sepakati yaitu hukum
adat.
Dalam reformasi menuntut dilakukannya
amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi causa prima penyebab
tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada
krisis sosial-politik, bobroknya managemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya
nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah
dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena
fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang
demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga
terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada
penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada
penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan
kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama
(1959 – 1966) dan orde baru (1966 – 1998) telah membuktikan hal itu, sehingga
siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan
berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini
disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan
bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau
dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga
negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan
dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang
seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang
tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian
memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat
untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa
yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu
terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses
perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil
dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah
menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang
demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan
rakyat dan kemanusiaan.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari Negara?
2. Apa
pengertian dan klasifikasi dari konstitusi?
3. Bagaimana
hubungan antara Negara dan Konstitusi di Indonesia?
4. Apa
contoh atau studi kasus dalam konstitusi di Indonesia?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Negara.
2. Untuk
mengetahui pengertian dari konstitusi dan bentuk konstitusi yang ada di
Indonesia.
3. Untuk
mengetahui hubungan antara negara dan konstitusi.
4. Untuk
mengetahui secara sekilas salah satu studi kasus dalam konstitusi di Indonesia
1.4. Manfaat
Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut
:
Bagi
pembaca :
1. Pembaca
dapat menambah wawasan dan pengetahuannya tentang Negara dan konstitusi.
2. Pembaca
mampu memahami hubungan antara Negara dan konstitusi.
Bagi
penyusun :
1. Penyusun
dapat melatih kemampuan dan mengembangkan keterampilan membaca yang efektif.
2. Penyusun
dapat meningkatkan pengorganisasian fakta atau data secara jelas dan
sistematis.
3. Penyusun
dapat menambah dan memperluas cakrawala
ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Negara
Negara adalah suatu wilayah di permukaan
bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya
diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan
suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua
individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent. Syarat primer
sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat
pengakuan dari negara lain.
Setiap Negara tentunya memiliki Dasar
Negara, dimana Dasar Negara ini menjadi fandemen yang kokoh dan kuat serta
bersumbar dari pandangan hidup atau falsafah(cerminan dari peradaban,
kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah
perkembangan Negara itu sendiri).
2.2.Pengertian dan
Klasifikasi dari Konstitusi
2.2.1.
Pengertian
Konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti
“pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk.
Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal
(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda
menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi
dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi
Undang-undang Dasar. Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya¬an: what
is a constitution dapat dijawab bahwa “…a consti¬tution is a document which
contains the rules for the the operation of an organization” Organisasi
dimaksud bera¬gam bentuk dan kompleksitas struktur¬nya. Negara sebagai salah
satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Dahulu konstitusi digunakan
sebagai penunjuk hukum penting biasanya dikeluarkan oleh kaisar atau raja dan
digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan keputusan subsitusi
tertentu terutama dari Paus. Konstitusi pada umumnya bersifat kondifaksi yaitu
sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi
pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan
dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). Namun menurut
para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan
termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan dan distibusi maupun alokasi Konstitusi bagi organisasi pemerintahan
negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya,
terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti
konstitusi ekonomi Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang
menopang berdirinya suatu negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu
konstitusi tertulis (Written Constitution) dan konstitusi tidak tertulis
(Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis”
(geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis”
(ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution
of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai
konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Konstitusi
memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk
menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya
harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak
berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis”
(Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten
Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht)
yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht)
yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J.
Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis,
kecuali Inggris dan Kanada. Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut
konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang
di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The
Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada
dokumen tertentu yang menentukan:
§ Adanya
wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan
§ Adanya
ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi
Ada
konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang
terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti
uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru
236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal,
di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36
pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal,
Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
2.2.2.
Klasifikasi
Konstitusi
Hampir semua negara memiliki konstitusi, namun
antara negara satu dengan negara lainya tentu memiliki perbeadaan dan
persamaan. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang
berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi
kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara
lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.
Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975)
mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:
§
Konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis (written constitution and unwritten constitution)
§
Konstitusi fleksibel dan
konstitusi rigid (flexible and rigid constitution). Konstitusi fleksibelitas
merupakan konstitusi yang memiliki ciri-ciri pokok:
o
Sifat elastis, artinya dapat
disesuaikan dengan mudah .
o
Dinyatakan dan dilakukan
perubahan adalah mudah seperti mengubah undang- undang.
§
Konstitusi derajat tinggi dan
konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution).
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam
negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat
tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama.
§
Konstitusi Negara Serikat dan
Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution).
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi
negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan
antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur
di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam
konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di
tangan pemerintah pusat.
§
Konstitusi Pemerintahan
Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and
Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri
antara lain:
1.
Presiden memiliki kekuasaan
nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
2.
Presiden dipilih langsung oleh
rakyat atau dewan pemilih.
3.
Presiden tidak termasuk pemegang
kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar
yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang
dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau¬latan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah
paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang
dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan
konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan
konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian
hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi
atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi
itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk
hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang
tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi
tersebut.
Dengan ciri-ciri konstitusi yang disebutkan oleh
Wheare ” Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive Constitution)”, oleh Sri
Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tidak termasuk kedalam golongan
konstitusi Pemerintahan Presidensial maupun pemerintahan Parlementer . Hal ini
dikarenakan di dalam tubuh UUD 45 mengndung ciri-ciri pemerintahan presidensial
dan ciri-ciri pemerintahan parlementer. Oleh sebab itu menurut Sri Soemantri di
Indonesia menganut sistem konstitusi campuran.
2.3. Hubungan Antara Negara
Dan Konstitusi Di Indonesia
Dasar
negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang merupakan norma tertinggi.
Sebagai dasar negara, Pancasila dapat disebut norma dasar, norma pertama, norma
fundamental negara, atau pokok kaidah negara yang fundamental dan cita hukum
yang menjadi sumber pembentukan konstitusi. Konstitusi yang merupakan norma
hukum di bawah dasar negara bersumber dan berdasar pada dasar negara ini,
meliputi hukum dasar tertulis, yaitu undangundang dasar, serta hukum dasar
tidak tertulis, yaitu konvensi. Penjelasan atau penjabaran (perwujudan) dasar
negara ke dalam aturan hukum yang pertamatama dilakukan melalui konstitusi.
Hubungan dasar negara Pancasila dengan konstitusi UUD 1945 dapat dilihat pada
Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 yang menunjukkan
suasana kebatinan negara memuat asas kerohanian negara, asas politik negara,
asas tujuan negara, dan dasar hukum pada undangundang dengan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut.
a. Pokok
pikiran persatuan yang merupakan perwujudan dari sila ketiga Pancasila, yaitu
Persatuan Indonesia, memiliki pengertian bahwa Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi, negara mengatasi segala
paham golongan dan paham perseorangan. Dengan demikian, negara menghendaki
persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia.
b. Pokok
pikiran keadilan sosial yang merupakan perwujudan dari sila kelima Pancasila,
yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memiliki pengertian bahwa
negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam
rangka mewujudkan negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur dengan
memajukan kesejahteraan umum.
c. Pokok
pikiran kedaulatan rakyat yang merupakan perwujuan dari sila keempat Pancasila,
yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, memiliki pengertian Negara berkedaulatan rakyat
berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/ perwakilan. Oleh karena itu,
negara memiliki sistem pemerintahan demokrasi Pancasila.
d. Pokok
pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
yang merupakan perwujudan dari sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, serta sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
mengandung pengertian negara menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara
untuk memilihara budi pekerti yang luhur dan teguh dalam memegang cita-cita
moral rakyat yang luhur.
2.4.Contoh Atau Studi Kasus Dalam
Konstitusi Di Indonesia : Pembukaan UUD 1945 Tidak Diamandemen
Sejumlah ahli hukum tata negara memasukkan Pembukaan UUD
1945 dalam kategori staatsgrundnorm, yang tidak bisa diubah dan dimodifikasi,
seperti dijelaskan dalam teori hukum murni Hans Kelsen. Teori Kelsen dianggap
tidak realistis oleh Friedmann dalam Legal Theory (hlm 114). Sayangnya, banyak
juga yang lupa bahwa teori Kelsen ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh
muridnya Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Dalam teori Nawiasky, Pembukaan UUD 1945
dapat dimasukkan ke staatsfundamentalnorm. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky
berpendapat bahwa norma dasar negara ini dapat berubah sewaktu-waktu karena
sebuah peristiwa politik yang luar biasa seperti kudeta, revolusi, dan
sebagainya. Teori Nawiasky sebenarnya sejalan dengan ide perubahan Pembukaan
UUD 1945 mengingat empat tahun lalu telah terjadi peristiwa luar biasa di
negara kita, berhentinya Presiden Soeharto dan dimulainya era reformasi.
Pembukaan UUD 1945 tidak direvisi
bukan untuk mensakralkan pembukaan, namun lebih dipengaruhi oleh Yuridis
Sosiologis dan landasan Filosofi Historis. Faham kebangsaan telah menyelimuti
suasana kebatinan dari Founding Fathers dalam menyusun pembukaan UUD 1945.
Faham ini memandang manusia sebagai anggota dalam satu keluarga yang tetap menghormati
dan melindungi perbedaan namun tetap rukun dalam satu keluarga.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan lebih jauh adalah
pembukaan sebuah UUD itu merefleksikan semangat zaman dan konteks sejarah,
serta roh norma bernegara yang akan diturunkan dalam batang tubuh atau
pasal-pasal UUD tersebut. Spirit kemerdekaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 sangat cocok dengan suasana lahirnya UUD 1945. Namun, spirit atau roh
reformasi yang bergulir sejak empat tahun lalu belum terakomodasi dalam
Pembukaan UUD 1945.
Dalam Pembukaan tercantum nilai dasar
Negara (Staatfundamental norma) berupa pernyataan kemerdekaan sebagai hak
segala bangsa dan hilangnya penindasan. Pembukaan telah menyatakan kemerdekaan
Indonesia hanya terjadi sekali. Dengan mempertahankan pembukaan maka kita wajib
mempertahankan falsafah kemerdekaan bangsa dan nilai-nilai dasar Negara
Indonesia.
Dalam Pembukaan juga terdapat Visi
dan Misi Negara yaitu pada alinea keempat dalam melindungi bangsa dan tumpah
darah, mensejahterakan serta mencerdaskan bangsa dan terlibat dalam perdamaian
dunia. Dalam pembukaan terdapat dasar dan filsafat Negara yaitu Pancasila,
menempatkan Pancasila sebagai dasar Negara secara tegas menolak theokrasi
(Negara agama) dan paham sekulerisme (pemisahan Negara dan agama)
Pembukaan UUD 1945 mengandung
cita-cita hukum (rechsidee) karena mengndung asas-asas hukum fundamental,
norma-norma dasar yang berfungsi sebagai hukum tertinggi yang menjadi acuan
yuridis semua aturan perundangan dibawahnya. Konsekuansinya , semua peraturan
hukum yang bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 harus dinyatakan batal demi
hukum. Sebagai sumber hukum tertinggi maka pembukaan harus mengarahkan pada
formulasi peraturan hukum yang mengandung kepastian hukum (legal certainty)
kemanfaatan (utility) dan keadilan bagi semua (justice for all).
Kedudukan Pembukaan sangat kuat
sebagai perjanjian hukum dasar dan tujuan Negara , cita hukum dan mengandung
nilai universal untuk itu harus tetap dipertahankan. Dalam bahasa hukum,
pembukaan memuat azas-azas dasardan sendi-sendi pokok kehidupan bernegara.
Sehingga merubah Pembukaan UUD 1945 berarti merubah system kenegaraan.
Andai kata usulan amendemen Pembukaan UUD 1945 diterima,
maka isinya adalah penambahan alinea yang berisikan semangat reformasi
sebagaimana telah dicerminkan dalam sejumlah pasal tentang hak asasi manusia,
penguatan posisi parlemen, pembatasan masa jabatan presiden, dan lainnya.
Dengan demikian, akan ada korelasi yang kuat antara amendemen UUD 1945 dan
amendemen Pembukaan UUD 1945.
Pada dasarnya amandemen ditujukan
pada perbaikan aspek struktur dan prosedur dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara agar aspek tersebt konsisten dan mendukung pewujudan
nilai-nilai. Oleh karena itu UUD 1945 sengaja tidak memuat aturan yang dapat
menjadi landasan untuk mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tata cara perubahannya
hanya pada pasal-pasalnya saja.